MAKALAH DAGING SINTETIS, LAB – GROWN MEAT, DAN SERTIFIKASI HALAL

 

DAGING SINTETIS, LAB – GROWN MEAT, DAN SERTIFIKASI HALAL

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Kontemporer

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Luluk Indarti, S.Ag., M.Pd.I

 

Disusun oleh:

Kelompok 13 PAI 6-B

1.      Itsnaini Azizah                      1860201221024

2.      Eliana Depi Vanessa             1860201222121

3.      Elya Maulidiya Rosyidah      1860201222168  

   

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI

RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

APRIL 2025

 KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga makalah tentang “Daging Sintesis, Lab- Grown Meat, dan Sertifikasi Halal” sebagai salah satu tugas mata kuliah Fikih Kontemporer dapat terselesaikan dengan baik.

Sehubungan dengan selesainya makalah ini maka penyusun mengucapkan terima kasih kepada :

1.       Bapak Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I, selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatulloh Tulungagung.

2.       Bapak Dr. Sutopo, M.Pd.I, selaku Dekan FTIK UIN Sayyid Ali Rahmatulloh Tulungagung.

3.       Ibu Dr. Hj. Indah Komsiyah, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Tarbiyah UIN Sayyid Ali Rahmatulloh Tulungagung.

4.       Bapak Dr. H. Imam Junaris, S.Ag, M.H.I, Selaku Koordinator Program Strudi Pendidikan Agama Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

5.       Ibu Dr. Hj. Luluk Indarti, S.Ag., M.Pd.I. selaku Dosen Mata Kuliah Fikih Kontemporer.

6.       Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang konstruktif dari teman-teman dan juga dosen sangat diharapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berkah yang melimpah bagi penyusun khususnya kepada pembaca pada umumnya.

 

 

Tulungagung, 19 April 2025

 

 

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. ii

DAFTAR ISI. iii

BAB I. 1

PENDAHULUAN.. 1

A.   Latar Belakang. 1

B.    Rumusan Masalah. 2

C.    Tujuan. 2

BAB II. 3

PEMBAHASAN.. 3

A.   Pengertian Daging Sintetis. 3

B.    Hukum Daging Sistesis Dalam Pandangan Islam.. 4

C.    Proses Pembuatan Daging Sintetis. 8

D.   Pengertian Lab Grown Meat 10

E.    Lab Grown Meat Dalam Persepektif Fikih Kontemporer 11

F.    Pengertian Sertifikasi Halal 13

G.   Proses Sertifikasi Halal 15

H.   Manfaat Sertifikasi Halal 16

BAB III. 19

PENUTUP.. 19

A.   Kesimpulan. 19

B.    Saran. 21

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

            Perkembangan teknologi pangan telah melahirkan berbagai inovasi yang bertujuan untuk menjawab tantangan global, seperti krisis pangan, perubahan iklim, dan kesejahteraan hewan. Salah satu inovasi yang kini menarik perhatian adalah daging sintetis dan lab-grown meat. Daging ini dikembangkan di laboratorium melalui proses kultur sel hewan tanpa perlu menyembelih hewan secara konvensional. Selain dinilai lebih ramah lingkungan, teknologi ini juga dianggap sebagai solusi potensial untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di masa depan. Daging sintesis ini berasala dari hewani dan nabati sedangkan lab grown meat ini, dikembangkan dari sel hewan yang mulai berkembang.

            Namun, kemunculan daging hasil rekayasa ini memunculkan berbagai pertanyaan, khususnya di kalangan umat Islam. Salah satu isu utama yang muncul adalah mengenai kehalalan produk lab-grown meat. Mengingat proses pembuatannya yang tidak melalui penyembelihan hewan secara syariat, perlu ada penelaahan lebih lanjut mengenai status kehalalan produk tersebut, baik dari segi bahan, proses produksi, maupun etika yang terlibat.

            Di Indonesia dan negara-negara dengan populasi Muslim yang besar, sertifikasi halal menjadi sangat penting dalam menentukan apakah suatu produk layak dikonsumsi oleh umat Islam. Oleh karena itu, kehadiran daging sintetis menuntut peran aktif dari lembaga sertifikasi halal, seperti BPJPH dan MUI, untuk memberikan kejelasan hukum dan panduan bagi pelaku industri serta konsumen. Dengan demikian, makalah ini mengkaji lebih dalam mengenai daging sintetis, lab grown meat dan sertifikasi halal. Melalui makalah ini diharapkan dapat membantu para pembaca dalam mencari materi dan sebagai bahan literasi.

B.    Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari daging sintesis ?

2.      Bagaimana hukum daging sintesis dalam pandangan islam ?

3.      Bagaimana proses pembutan daging sintesis ?

4.      Apa pengertian lab grown meat ?

5.      Bagaimana lab grown meat dalam persepektif fikih kontemporer ?

6.      Apa pengertian dari sertifikasi halal ?

7.      Bagaimana proses sertifikasi halal ?

8.      Apa saja manfaat sertifikasi halal ?

C.   Tujuan

1.      Untuk mendeskripsikan pengertian dari daging sintesis

2.      Untuk mendeskripsikan hukum daging sintesis dalam pandangan islam.

3.      Untuk mendeskripsikan proses pembutan daging sintesis

4.      Untuk mendeskripsikan pengertian lab grown meat ?

5.      Untuk mendeskripsikan lab grown meat dalam persepektif fikih kontemporer ?

6.      Untuk mendeskripsikan pengertian dari sertifikasi halal

7.      Untuk mendeskripsikan proses sertifikasi halal

8.      Untuk mendeskripsikan manfaat sertifikasi halal

  

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Daging Sintetis

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), daging merupakan bagian yang terlunak pada tubuh makhluk hidup (manusia dan hewan) yang dibungkus oleh kulit serta melekat pada bagian tulang.[1] Daging tersusun dari beberapa bagian seperti jaringan otot, lemak, urat dan tulang rawan.[2] Daging berasal dari Bahasa Inggris kuno mete yang bermakna makanan, atau meat yang berarti daging yang dapat dikonsumsi atau dimakan,[3] dan pada bahasa lain seperti Mad (Denmark) dan Mat (Swedia dan Norwegia) mengartikan bahwa daging adalah makanan.

            Daging dalam arti lainnya juga adalah bagian tubuh hewan sembelihan yang dijadikan makanan, sehingga secara umum dapat dipahami bahwa daging merujuk kepada makanan. Daging sintetis adalah daging yang dikultur atau daging yang in vitro, bahan berasal dari sel dan jaringan yang dikembangbiakkan di dalam lingkungan laboratorium.[4] Daging sintetis dihasilkan dari Stem Cells (sel puncak/sel induk) yang masih hidup, proses produksi menghasilkan daging yang sama persis dengan aslinya seperti bentuk, aspek, aroma dan komposisi sebab in vitro yang dilakukan mensintesis sel otot tersebut. Daging sintetis menjadi penemuan dan inovasi baru di dunia perindustrian khususya makanan, temuan ini merupakan hasil kerja keras para ilmuan di bidang bioteknologi. Daging sintetis menjadi salah satu solusi atas kekurangan pasokan pangan khusunya terhadap daging. FAO pada tahun 2022 mencatat produksi daging di tahun 2031 diperkirakan hanya mencapai sekitar 16% dari kebutuhan daging dunia,18 produksi ini jauh menurun dari yang dirilis oleh FAO di tahun 2014 yang lalu, dengan produksi daging pada tahun 2023 sekitar 19%.[5]

            Di samping daging sintetis menjadi alternatif untuk pasokan daging konvensional, daging sintetis memiliki manfaat dalam bidang ling kungan dan kesehatan. Daging yang dihasilkan memiliki kolestrol yang sedikit, higienis, dan ekonomis. Lemak dalam daging sintetis dapat di kontrol di laboratorium sesuai kebutuhan, daging higienis sebab diproduksi dalam lingkungan yang sterill bebas dari bakteri berbahaya, dan daging buatan lebih murah dari pada daging konvensional sebab produksinya tidak membutuhkan biaya besar serta waktu produksi yang singkat (hanya 2-8 minggu).

            Daging sintetis juga ramah terhadap lingkungan karena emisi karbon global yang dihasilkan rendah serta limbahnya yang hampir tidak ada.[6] Dari berbagai manfaat yang ada pada daging sintetis terhadap lingkungan dan kesehatan, maka sudah pantas dan perlu diproduksi dengan skala industri untuk memenuhi kebutuhan terhadap konsumsi daging, sebab produksi daging konvensional saat ini hingga masa mendatang tidak bisa memenuhi kebutuhan dari jumlah populasi manusia yang ada, maka daging sintetis menjadi sebuah terobosan dari para ilmuan dan menjadi alternatif dalam membantu memecahkan kekurangan produksi daging konvesional.

B.    Hukum Daging Sistesis Dalam Pandangan Islam

            Dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada disebutkan dan dibahas secara langsung tentang daging sintetis karena ini merupakan isu di zaman modern (kontemporer). Tetapi terdapat beberapa sandaran yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum atas daging sintetis seperti pada ilmu fiqih klasik. Pengkulturan yang dilakukan merupakan pengambilan sel dari bagian tubuh hewan yang masih hidup, maka bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang dikultur akan dianggap bangkai. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

وَمِنْ اَبِ وَاقِدِ اللَّيْثِيْ رَضِيَ هللاُ عَنْهُ قَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله علَيْهِ وَسَلَمَ : مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ, فـَهُوَ مَيـْتَةُ.

“Dari Abu Waqid Al-Laisi r.a, Nabi Saw:  Bagian tubuh yang dipotong dari binatang ternak yang masih dalam keadaan hidup, maka itu adalah bangkai. “(HR Abu Daud dan At-Tirmidzi. Hadits ini dinilai hasan oleh At-Tirmidzi dan lafazh-nya juga oleh At-Tirmidzi).[7]

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa hewan tanpa adanya proses penyembelihan maka bagian tubuh hewan yang terpisah dan terpotong tersebut disamakan dengan bangkai, yang mana bangkai dihukumi haram. Sehingga pengkulturan yang dilakukan pada proses pembuatan daging sintetis dianggap haram hukumnya sebab hewan yang dikultur merupakan hewan yang masih hidup. Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar Al-Haitami,[8] memperjelas tentang bagian anggota tubuh yang terpisah:

  وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ) طَهَارَةً وَنَجَاسَةٌ فَيَدُ الْآدَمِنِ طَاهِرَةٌ خلافًا لِكَثِيرِينَ وَالْيَةُ الْحُرُوفِ نَحِسَةٌ لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ أَوْ الصَّحِيح

“(Anggota tubuh yang terpisah dalam keadaan hidup disamakan seperti ketika ia mati) dalam aspek suci dan najisnya, maka tangan manusia dihukumi suci, pendapat ini berbeda dengan kebanyakan para ulama. Sementara bokong dari anak domba dihukumi najis karena bersandar pada hadits hasan lagi shahis”.

            Dari penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut terdapat dua dasar hukum atas anggota tubuh yang terpotong, pertama dianggap suci jika bagian tubuh itu berasal dari manusia, belalang, dan ikan, kedua dianggap najis jika bersumber dari pantat kambing, punuk unta, ekor sapi, telinga dan lain sebagainya. Hal demikian diperjelas oleh Muhammad Al Khathibi Asy-Syarbini dalam kitabnya Al-Igna fi Halli AlFazhi Abi Syuja, yang berbunyi:[9]

الْقَوْلُ فِي مَا قَطِعَ مِنْ حَيْ وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَةِ ذَلِكَ الحي : إِنْ كَانَ طَاهِرًا فَطَاهِرٌ, وَإِنْ كَانَ نَجَسًا فَنَجَسٌ لِخَبَرٍ ((مَا قَطِعَ مِنْ حَي فَهُوَ كَمَيْتَتِهِ )) رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ, فَالْمُنْفَصِلُ مِنَ الْأَدَمي أَوِ السَّمَكِ أَوِ الْجَرَادِ طَاهِرٌ, وَمِنْ غَيْرِهَا نَجَسٌ إِلَّا شَعْرٌ) أَوْ صَوْفٌ أَوْرِيْشَ أَوْوَبَرُ الْمَأْكُوْلِ فَطَهَرَ بِالْإِجْمَاعِ, وَلَوْ تَتَفَ مِنْهَا أَوْ ااسْتَتَفَت

 “Pendapat bahwa sesuatu yang diambil dari hewan yang masih hidup]pembagian yang terpisah dari hewan yang masih hidup maka hukumnya sesuai dengan bangkai hewan tersebut : jika bangkai tersebut adalah suci maka dihukumi suci, dan jika bangkai tersebut najis maka dihukumi najis, berdasarkan hadits (( sesuatu yang terpisah dari yang hidup adalah bangkai )) diriwayatkan imam hakim atas syarat imam bukhori muslim, anggota tubuh yang terpisah dari manusia atau ikan atau belalang itu suci, dan dari selaiinya najis (kecuali rambutnya) atau bulu atau bulu ayam atau bulu unta maka suci. berdasarkan kesepakatan ulama, walaupun mencabut darinya atau tercabut”.

            Berdasarkan hadits dan penjelasan ulama fiqh di atas, dapat disimpulkan bahwa daging, sel dan bagian tubuh hewan yang terpisah dianggap bangkai. Dan bangkai hukumnya haram untuk dikonsumsi, sebagaimana jelas tertulis dalam Q.S Al-Baqarah 173 yang berbunyi:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (tidak disembelih) disebut (nama) selain allah”.

Sebenarnya fatwa dan kajian-kajian yang khusus mengenai hukum memakan daging buatan ini masih susah untuk diperoleh atau masih sedikit yang memaparkan terlebih dalam persfektif hukum islam. Misalnya penelitian yang dilakukan Islamic Institute of Orange Country (IIOC) (2014), Mufti Faraz Adam Al-Mahmudi dari Amerika Serikat (2014) dan Abd Al-Qahir Qamar dari International Islamic Fiqh Acaademy (Majma’ Al-Fiqh Al-Islami), mereka mengijinkan atau memperbolehkan memakan daging karena mengqiyaskan daging buatan kepada pembuatan yogurt. [10]

Sedangkan pada Munas Alim Ulama NU (2021) menyatakan bahwa daging hasil pengembakbiakan dari sel hewan yang masih hidup seperti ayam, sapi hukumnya najis dan haram untuk dikonsumsi, sebab dinisbatkan berstatus sebagai bangkai,[11] tetapi Dr. Minzer Khaf (2014) mengatakan dalam pemberian fatwa terhadap daging buatan perlu adanya perhatian lebih dalam kajian ilmiahnya, tidak mesti selalu menggunakan persfektif agama, sehingga yang awalnya haram menjadi halal di masa mendatang.[12]

 Berdasarkan analisis peneliti dari dasar hukum Al-qur’an, Hadits dan Ulama Fiqh di atas, maka berikut ini tabel hukum terhadap daging buatan.

Table 1. Hukum In Vitro

     No

Nama teknik

Sumber

Proses

Hukum

Alsan/ anologi hukum

1.       

In vitro I

Sel hewan

Tanpa penyembelihan

Haram

Dianggap bangkai

2.       

In vitro II

Sel hewan

Penyembelihan

Halal

Sesuai dengan ketentuan dalam Islam

3.       

In vitro III

Sel ikan dan belalang

Tanpa sembelihan dan sembelihan

Halal

Dua hewan tersebur halal meski telah menjadi bangkai


Dari tabel tersebut disimpulkan bahwa hanya terdapat satu proses yang di hukumi haram yakni in vitro sel hewan tanpa proses penyembelihan, sebab dalam islam dinyatakan sebagai bangkai. Hukum akan berubah halal jika proses in vitro yang dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat islam. Jadi daging buatan yang memiliki banyak manfaat tersebut akan diterima dan akan dihukumi halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat muslim di seluruh dunia, jika dilakukan melalui proses in vitro II dan in vitro III.

C.   Proses Pembuatan Daging Sintetis

            Daging sintetis, yang juga dikenal sebagai daging tanpa hewan, diproduksi dengan menggunakan teknologi sel mamalia yang dibiakkan di laboratorium. Beberapa produsen telah mengklaim bahwa daging sintetis memiliki nilai nutrisi yang serupa dengan daging asli, dengan kadar protein tinggi dan rendah lemak jenuh. Misalnya, burger daging sintetis yang diproduksi oleh perusahaan terkemuka seperti Impossible Foods dan Beyond Meat mengandung sekitar 20gram protein per porsi, yang setara dengan daging sapi. Ini bisa menjadi solusi untuk masalah pangan global karena produksi daging tradisional memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

            Proses produksi daging sintetis dimulai dengan pengambilan sampel sel-sel hewan yang akan dijadikan bahan dasar, seperti sel-sel otot atau sel-sel lemak. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Willem van Eelen pada tahun 1999 dan sejak itu telah mengalami perkembangan signifikan.[13] Proses produksi daging sintetis melibatkan beberapa tahap penting. Pertama, sel-sel hewan yang diambil secara non-invasif melalui biopsi dimasukkan ke dalam media pertumbuhan yang mengandung nutrisi esensial seperti gula, asam amino, dan faktor-faktor pertumbuhan. Media ini memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel-sel untuk berkembang dan membelah diri. Kedua, sel-sel tersebut ditempatkan dalam bioreaktor, suatu lingkungan yang dikendalikan dengan suhu, kelembaban, dan oksigen yang sesuai. Di dalam bioreaktor, sel-sel tumbuh dan berkembang menjadi jaringan otot atau lemak, mirip dengan cara tubuh hewan memproduksi daging. Proses ketiga adalah pembentukan struktur daging. Untuk mencapai tekstur daging yang mirip dengan asli, jaringan yang dihasilkan di bioreaktor seringkali diberi rangsangan mekanis seperti peregangan atau kontraksi yang berulang-ulang. Selama seluruh proses ini, tanpa ada hewan yang harus disembelih, dan dampak lingkungan yang dihasilkan secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan produksi daging tradisional.  Dalam memahami kandungan nutrisi pada daging sintetis dan membandingkannya dengan daging sapi dari hewan ternak, perlu diperhatikan bahwa kandungan nutrisi dapat bervariasi tergantung pada metode produksi dan komposisi sel yang digunakan dalam proses kultivasi daging sintetis.

            Dalam daging sintetis, kadar protein umumnya tinggi, dan ini tergantung pada jenis sel yang digunakan dalam proses pembuatannya. Sebuah penelitian yang diterbitkan di “Frontiers in Sustainable Food Systems” pada tahun 2020 menunjukkan bahwa daging sapi kultivasi yang dihasilkan menggunakan sel-sel otot memiliki kadar protein yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada daging sapi konvensional.[14] Kadar lemak dalam daging sintetis juga dapat diatur, yang memungkinkan produsen untuk menciptakan produk dengan kadar lemak yang lebih rendah daripada daging sapi tradisional. Namun, ada perbedaan dalam komposisi lemak. Daging sapi konvensional mengandung lemak jenuh, sedangkan daging sintetis dapat dirancang dengan lemak yang lebih sehat, seperti asam lemak tak jenuh tunggal dan ganda. Ini dapat menjadi aspek positif dalam hal kesehatan jantung. Selain itu, daging sintetis tidak mengandung hormon pertumbuhan, antibiotik, atau residu pestisida yang terkadang ditemukan dalam daging sapi dari hewan ternak. Hal ini mengurangi risiko kesehatan terkait dengan konsumsi daging sapi konvensional.

D.   Pengertian Lab Grown Meat

            Perkembangan teknologi pangan telah membawa manusia ke sebuah era baru dalam produksi makanan, salah satunya melalui penciptaan lab-grown meat atau cultured meat (daging kultur). Daging ini bukan berasal dari penyembelihan hewan secara tradisional, melainkan dikembangkan di laboratorium melalui teknik rekayasa bioteknologi, dengan cara menumbuhkan sel otot atau sel punca (stem cell) dari hewan halal di dalam medium kultur khusus. Inovasi ini hadir sebagai respons terhadap tantangan besar umat manusia seperti pertumbuhan populasi, krisis pangan global, isu kesejahteraan hewan, serta dampak lingkungan dari industri peternakan konvensional.[15]

            Daging kultur diproduksi dengan cara mengambil sel otot (biasanya disebut sel satelit) atau sel punca dari hewan, kemudian ditumbuhkan dalam medium kultur yang mengandung nutrisi dan faktor pertumbuhan. Proses ini berlangsung ex vivo, yaitu di luar tubuh hewan, hingga sel berkembang menjadi jaringan otot yang secara fisik, tekstur, dan rasa menyerupai daging hewan asli.[16] Selanjutnya, daging ini dapat diproses menjadi berbagai produk seperti burger, nugget, dan lainnya. Sumber sel menjadi aspek krusial dalam kajian keislaman. Bila sel diambil dari hewan yang halal dan disembelih secara syar’i, maka sebagian ulama kontemporer menyatakan daging kultur tersebut bisa dihukumi halal. Namun jika sel berasal dari hewan yang tidak halal atau belum disembelih secara syariat, maka status hukumnya bisa menjadi haram atau syubhat (meragukan)[17]. Medium pertumbuhan juga menjadi titik penting. Pada tahap awal, banyak penelitian menggunakan fetal bovine serum (FBS), yaitu serum dari darah janin sapi, sebagai medium kultur. Ini menimbulkan keraguan karena FBS sendiri diperoleh dari proses yang tidak memenuhi standar halal. Kini, mulai dikembangkan alternatif medium nabati atau rekayasa mikroba untuk mengatasi persoalan ini[18].  

E.    Lab Grown Meat Dalam Persepektif Fikih Kontemporer

            Dalam fikih Islam, suatu makanan dikatakan halal apabila memenuhi dua syarat utama: bahan baku dan cara pengolahannya. Dalam konteks daging kultur, pertanyaan yang paling sering diajukan adalah: apakah makanan yang berasal dari sel hidup tetapi tidak melalui penyembelihan sah menurut hukum Islam? Apakah intervensi manusia dalam proses ini melanggar ketentuan syariat? Sebagian besar ulama kontemporer seperti yang dikaji oleh Hamdan menyatakan bahwa selama sel diambil dari hewan yang halal dan disembelih secara sah, serta tidak terdapat najis atau bahan haram dalam medium kultur, maka produk akhir dapat dihukumi halal[19]. Argumentasi ini juga memperhatikan prinsip maslahah mursalah, yaitu manfaat umum yang tidak bertentangan dengan nash, seperti menghindari pencemaran lingkungan, krisis pangan, dan eksploitasi hewan. Sebaliknya, bila proses kultur melibatkan zat najis atau haram, atau sel diambil dari hewan yang belum disembelih, maka daging yang dihasilkan tidak bisa dikatakan halal. Ini sesuai dengan prinsip kaidah usul fikih bahwa “Al-wasā’il lahā aḥkām al-maqāṣid”—segala sarana memiliki hukum yang mengikuti tujuan[20].

            Di Indonesia, hingga kini belum ada fatwa resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait status hukum daging kultur. Namun, LPPOM MUI telah menetapkan prinsip-prinsip dasar sertifikasi halal, yang mencakup aspek bahan, proses, alat, dan lingkungan produksi[21]. Artinya, daging kultur baru dapat dikategorikan halal jika seluruh tahapan produksinya sesuai dengan standar tersebut. Studi oleh Qudsiyah & Tsania menunjukkan bahwa sebagian besar ulama kontemporer dunia Muslim, termasuk dari IPB, UTM, dan Universitas Malaya, setuju bahwa cultured meat dapat dihukumi halal apabila: (1) Sumber sel berasal dari hewan halal dan telah disembelih sesuai syariat; (2) Medium kultur tidak mengandung najis atau bahan haram; dan (3) Proses produksi dilakukan secara bersih, aman, dan terkontrol[22]. Namun, diperlukan lembaga otoritatif dan ahli syariah untuk menilai case by case, karena realitas laboratorium bisa sangat kompleks dan berubah-ubah.

            Sebagian kelompok konservatif mengajukan keberatan teologis bahwa memproduksi daging dari laboratorium merupakan bentuk taghyīr khalqillāh (mengubah ciptaan Allah), yang disebut dalam QS. an-Nisā: 119 sebagai perbuatan setan. Namun, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradawi dan ulama maqāṣidiy, selama perubahan tersebut tidak bertujuan menciptakan kerusakan, tetapi justru memberi maslahat bagi umat manusia, maka tidak termasuk dalam larangan syar’i[23]. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa banyak inovasi modern juga “mengubah” ciptaan Allah dalam konteks pertanian, pengobatan, dan pangan, namun diterima karena memberi manfaat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama Islam.

            Daging kultur merupakan inovasi masa depan yang berpotensi besar mengatasi berbagai persoalan global seperti ketahanan pangan, lingkungan, dan kesejahteraan hewan. Dalam perspektif fikih kontemporer Indonesia, kehalalan daging ini sangat bergantung pada: sumber sel yang harus berasal dari hewan halal yang disembelih secara syar’i; media kultur yang bebas dari unsur najis dan haram; serta proses produksi yang terstandar, bersih, dan dapat diverifikasi. Ulama, ilmuwan, dan lembaga halal perlu berkolaborasi untuk membentuk pedoman yang komprehensif, sehingga umat Islam dapat mengakses inovasi ini tanpa ragu. Transparansi, akuntabilitas, dan sertifikasi menjadi kunci utama menuju penerimaan sosial dan religius.

F.    Pengertian Sertifikasi Halal

            Produk yang beredar di Indonesia sangat beraneka ragam baik produk lokal maupun produk impor dari luar negeri. Pada setiap produk perlu adanya penanda halal untuk memudahkan konsumen dalam memilih apakah produk tersebut boleh dikonsumsi atau tidak.[24] Adanya sertifikasi dan labelisasi produk ini agar terjamin bahwa produk tersebut halal, dapat dikonsumsi, dan bisa diedarkan kepada masyarakat khususnya warga muslim. Sertifikasi dan labelisasi ini merupakan dua hal yang berbeda namun saling memiliki keterkaitan satu sama lain.

            Kata “sertifikasi” dalam KBBI merupakan “penyertifikatan”. Sertifikasi dapat dikatakan sebagai proses pemberian sertifikasi atau bukti formal sebagai    pengakuan yang diberikan lembaga kepada suatu produk.[25] Sedangkan halal dalam bahasa arab berarti dibolehkan (legal) sesuai dengan syariat Islam. Halal juga berkaitan dengan kata halalan toyyiban (halal dan baik).[26] Jadi sertifikasi halal adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap pemeriksaan untuk membuktikan bahwa mulai dari bahan, proses produksi dan system jaminan halal memenuhi standar LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia).[27]  Sedangkan dalam UU Jaminan Produk Halal pada ketentuan umum pasal 1 nomor 10 dinyatakan bahwa “sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang di keluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.[28]

            Sertifikasi halal ini bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan pada suatu produk sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak pada konsumen. Karena Keyakinan    konsumen    terhadap    kehalalan    suatu    produk    akan mempengaruhi   jumlah pembelian   terhadap   produk   tersebut. Sertifikasi halal tidak hanya ditujukan untuk suatu kehalalan produk saja, akan tetapi sertifikasi halal juga dapat digunakan untuk menunjang kemajuan usaha seperti digunakan sebagai syarat untuk memasukan produk dalam ranngka memperluas wilayah pemasaran, dimana sertifikasi halal ini dijadikan sebagai jaminan atau perlindungan yang diberikan pemerintah kepada konsumen.

            Sertifikat halal juga menjadi syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman “Label Halal” pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Label Halal ini adalah perizinan penggunaan kata “halal” pada kemasan produk dari satu perusahaan oleh Badan POM.[29] Izin pencantuman “label halal” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM yang didasarkan dari rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat karena produk yang beredar di kalangan masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.

G.   Proses Sertifikasi Halal

Untuk dapat memperoleh Sertifikat Halal MUI tersebut serta dapat mencantumkan label halal yang diperoleh dari MUI, para produsen atau perusahaan harus menempuh berapa langkah, yaitu sebagai berikut:[30]

1.        Produsen mendaftarkan seluruh produk yang diproduksinya dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik yang menghasilkan produk dengan merek yang sama.

2.      Setiap produsen yang mengajukan permohonan sertifikat halal harus mengisi formulir tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan.

3.      Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.

4.      Hasil pemeriksaan audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam rapat auditor LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada sidang komisi fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

5.      Sidang Komisi Fatwa dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.

6.      Sertifikat halal diserahkan oleh LPPOM MUI pada perusahaan setelah ditetapkan oleh LPPOM MUI pada perusahaan setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI dan disetujui oleh MUI.

7.      Sertifikat halal berlaku selama 4 tahun sejak tanggal diterbitkan dan harus mengikuti prosedur perpanjangan sertifikat halal untuk mendapatkan sertifikat halal baru.

8.      Produk yang telah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI akan diuraikan dalam bentuk sertifikat lengkap dengan penomoran yang diatur oleh LPPOM MUI.

9.      Sertifikat Halal produk tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Ketua Komisi Fatwa MUI, dan diketahui LPPOM MUI.

H.      Manfaat Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal merupakan tanda bukti bahwa produk yang diperjualbelikan telah memenuhi syarat kehalalan yang ditetapkan oleh fatwa MUI. Dengan demikian, sertifikasi halal memberikan manfaat yang besar bagi konsumen, produsen, maupun pemerintah. Beberapa manfaat tersebut di antaranya sebagai berikut:[31]

1.      Sertifikat halal menjamin keamanan produk yang dikonsumsi, karena dalam mendapatkan sertifikat halal harus melalui tahapan yang ketat, sehingga produk atau barang kita terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi atau dipakai.

2.      Sertifikat halal memiliki Unique Selling Point (USP), karena memiliki konsep pemasaran yang berbedaa antara satu produk dengan produk lainnya. Dengan kata lain, produk bersertifikat halal memiliki keuntungan kompetitif sehingga membuat produk menjadi lebih bernilai di mata konsumen.

3.      Sertifikat halal memberikan ketenteraman batin bagi masyarakat, karena adanya sertifikasi halal, konsumen tidak perlu khawatir dengan makanan yang mengandung sesuatu yang haram seperti mengandung babi atau hal haram lainnya karena produk yang dikonsumsi sudah mengantongi sertifikasi halal sehingga sudah pasti terjamin kehalalannya dan proses sertifikasinyapun melalui tahapan yang ketat.

4.      Sertifikat halal memberi keunggulan komparatif, karena fungsi utama label halal adalah membantu konsumen memilih produk tanpa keraguan. Umumnya, setiap muslim akan melihat produk dengan label halal. Dengan jaminan ini, maka pasar tidak hanya terbatas di dalam negeri, namun pangsa pasar muslim di luar negeri yang sangat luas menjadi terbuka lebar.

5.      Sertifikasi halal menjadi tiket untuk mendapat akses pasar global, karena produk yang memiliki sertifikasi halal akan memiliki kesempatan untuk memasarkan produknya di Negara muslim lainnya selain Indonesia, contohnya Malaysia. Selain bersaing dengan produk dalam negeri, produk-produk halal Indonesia juga dapat bersaing dengan produk luar negeri karena tidak semua produk luar negeri sudah memiliki logo halal. Sebagai contoh coklat atau oleh-oleh dari luar negeri.

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

1.      Daging sintetis adalah daging yang dikultur atau daging yang in vitro, bahan berasal dari sel dan jaringan yang dikembangbiakkan di dalam lingkungan laboratorium. Daging sintetis dihasilkan dari Stem Cells (sel puncak/sel induk) yang masih hidup, proses produksi menghasilkan daging yang sama persis dengan aslinya seperti bentuk, aspek, aroma dan komposisi sebab in vitro yang dilakukan mensintesis sel otot tersebut.

2.      Dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada disebutkan dan dibahas secara langsung tentang daging sintetis karena ini merupakan isu di zaman modern (kontemporer). Tetapi terdapat beberapa sandaran yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum atas daging sintetis seperti pada ilmu fiqih klasik. Pengkulturan yang dilakukan merupakan pengambilan sel dari bagian tubuh hewan yang masih hidup, maka bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang dikultur akan dianggap bangkai jadi hukumnya haram.

3.      Proses produksi daging sintetis melibatkan beberapa tahap penting. Pertama, sel-sel hewan yang diambil secara non-invasif melalui biopsi dimasukkan ke dalam media pertumbuhan yang mengandung nutrisi esensial seperti gula, asam amino, dan faktor-faktor pertumbuhan. Kedua, sel-sel tersebut ditempatkan dalam bioreaktor, suatu lingkungan yang dikendalikan dengan suhu, kelembaban, dan oksigen yang sesuai. Di dalam bioreaktor, sel-sel tumbuh dan berkembang menjadi jaringan otot atau lemak, mirip dengan cara tubuh hewan memproduksi daging. Proses ketiga adalah pembentukan struktur daging. Untuk mencapai tekstur daging yang mirip dengan asli, jaringan yang dihasilkan di bioreaktor seringkali diberi rangsangan mekanis seperti peregangan atau kontraksi yang berulang-ulang.

4.      Lab -grown meat atau cultured meat (daging kultur) ini bukan berasal dari penyembelihan hewan secara tradisional, melainkan dikembangkan di laboratorium melalui teknik rekayasa bioteknologi, dengan cara menumbuhkan sel otot atau sel punca (stem cell) dari hewan halal di dalam medium kultur khusus yang mengandung nutrisi dan faktor pertumbuhan. Proses ini berlangsung ex vivo, yaitu di luar tubuh hewan, hingga sel berkembang menjadi jaringan otot yang secara fisik, tekstur, dan rasa menyerupai daging hewan asli

5.      Dalam perspektif fikih kontemporer Indonesia, kehalalan daging ini sangat bergantung pada: sumber sel yang harus berasal dari hewan halal yang disembelih secara syar’i; media kultur yang bebas dari unsur najis dan haram; serta proses produksi yang terstandar, bersih, dan dapat diverifikasi. Ulama, ilmuwan, dan lembaga halal perlu berkolaborasi untuk membentuk pedoman yang komprehensif, sehingga umat Islam dapat mengakses inovasi ini tanpa ragu. Transparansi, akuntabilitas, dan sertifikasi menjadi kunci utama menuju penerimaan sosial dan religius.

6.      Kata “sertifikasi” dalam KBBI merupakan “penyertifikatan”. Sedangkan halal dalam bahasa arab berarti dibolehkan (legal) sesuai dengan syariat Islam. Jadi yang dimaksud dengan sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang di keluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mendapatkan label halal dalam kemasan produk.

7.      Proses dalam mengajukan sertifikasi halal yaitu produsen mendaftarkan seluruh produk yang diproduksinya, mengisi formulir tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan, tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan audit ke lokasi produsen, jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada sidang komisi fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya, sidang Komisi Fatwa dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sertifikat halal diserahkan oleh LPPOM MUI pada perusahaan setelah ditetapkan oleh LPPOM MUI pada perusahaan setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI dan disetujui oleh MUI dan berlaku selama 4 tahun sejak tanggal diterbitkan dan harus mengikuti prosedur perpanjangan sertifikat halal, produk yang telah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI akan diuraikan dalam bentuk sertifikat lengkap dengan penomoran yang diatur oleh LPPOM MUI, serta sertifikat halal produk tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Ketua Komisi Fatwa MUI, dan diketahui LPPOM MUI.

8.      Manfaat dari sertifikasi halal adalah menjamin keamanan produk yang dikonsumsi, sertifikat halal memiliki Unique Selling Point (USP), sertifikat halal memberikan ketenteraman batin bagi masyarakat, sertifikat halal memberi keunggulan komparatif, dan sertifikasi halal menjadi tiket untuk mendapat akses pasar global.

B.    Saran

            Penulis menyadari bahwa kemampuan penulis hanya sampai di sini. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk semua kalangan. Apabila terdapat kata yang salah atau kekeliruan penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Makalah ini kiranya perlu mendapat respon positif baik itu berupa saran dan kritik yang mengarah kepada penyempurnaan, guna mengembangkan dan meningkatkan disiplin ilmu yang sekarang penulis pelajari.

DAFTAR PUSTAKA

 Alim, Munas, Ulama NU 2021. Putuskan Daging Berbasis Sel Haram Dikonsumsi,” nu.or.id, accessed September 9, 2022, https://www.nu.or.id/nasional/munas-alimulama-nu-2021-putuskan-daging-berbasis-sel-haram-dikonsumsi-WYiSS.

Agus Rahmadi, 2019. Kitab Pedoman Pengobatan Nabi: Konsep Sehat Berdasarkan Hadits Dan Medits.

Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, 1983. Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, vol. I, Mesir: Musthofa Muhammad.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, 2007.Terjemah Lengkap Bulughul Maram, Akbar Media.

Al-Zarkasyi, Ahmad, 2004. Prinsip Kaidah “Al-wasā’il lahā akām al-maqāṣid” dalam Ushul Fiqh, Jurnal Usul Fiqh dan Maqāṣid, Vol.10, No.2.

Arbanur Rasyid, 2020. Sertifikasi Halal Fatwa MUI dan Kaitannya Dengan Kesadaran Hukum di Masyarakat, Sukabumi: Haura Utama.

Dara Istia Aisyah, dkk., 2023. Analisis Pemahaman Sertifikasi Halal Pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (Studi Kasus di Kampung Ceungceum Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya), Jurnal Ilmu Ekonomi Islam, Vol. 7, No. 2.

Eka Rahayuningsih dan M. Lathoif Ghozali, 2021. Sertifikasi Produk Halal dalam Perspektif Mashlahah Mursalah, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 7, No. 1.

Hamdan, Ramli, and Ab Rahman, “Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging.”

Hudzaifah Achmad Qotadah, dkk. 2022, Cultured Meat for Indonesian Muslim Communities: A Review of Maslahah and Prospect. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 7, No. 2.

Leonard Bloomfield, 1995. Bahasa (Language), Gramedia Pustaka Utama.

LPPOM MUI, Pedoman Sertifikasi Halal Produk Pangan, 2020. Jurnal Pedoman Halal LPPOM MUI, Vol.1, No.1.

Maisyarah Rahmi, 2021. Maqasid Syariah Sertifikasi Halal, Palembang: Bening media Publishing.

Mark J. Post, 2012, “Cultured Meat from Stem Cells: Challenges and Prospects,” Meat science 92.

Moch Rizky Prasetya Kurniadi, 2022. “4 Arti Daging di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),” KBBI.

Mohammad Naqib Hamdan, Mohd Anuar Ramli, and Azman Ab Rahman, 2019. “Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging: Analisis Menurut Perspektif Hukum Islam: The Use of Stem Cells in Cultured Meat: Analysis According to Islamic Law Perspective,” Journal of Fatwa Management and Research.

Mohammad Naqib Hamdan, Mohd Anuar Ramli. 2016. Cultured Meat in Islamic Perspective: An Analysis to the Use of ESCs as Source of Stem Cell. Global Journal Al-Thaqafah, Vol. 6, No. 2.

Mohammad Naqib Hamdani, Mohd Anuar Ramliii & Azman Ab Rahman, 2019. Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging: Analisis Menurut Perspektif Hukum Islam. JFatwa: Journal of Fatwa Management and Research, Vol. 18, No. 1.

Nina Nurani, dkk., 2020. “Penyuluhan Sertifikasi Halal Bagi UMKM Jawa Barat Pada Situasi Pandemi Covid-19,” Jurnal Madaniya, Vol. 1, No. 3.

OECD and Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2014.  OECD-FAO Agricultural Outlook 2014, OECD Publishing.

Post, M. J. (2020). Cultured meat from stem cells: Challenges and prospects. Frontiers in Sustainable Food Systems.

Samsuddin Muhmamad bin Muhammad Khotibi As-Syarbini, 2004, Al-Iqna Fi Halli Alfadi Abi Syuja, Beirut, Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah.

Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Ussy Siti Qudsiyah & Amany Awfa Tsania, 2024. Halal Perspective Review of Cultured Meat Stem Cell Method, Journal of AgriFood Science and Technology, Vol.5, No.2.

Ussy Siti Qudsiyah, Amany Awfa Tsania. 2024. Halal Perspective Review of Cultured Meat Stem Cell Method. Journal of Agri-Food Science and Technology (JAFoST), Vol 5 No. 2.

Van Eelen, W. M. (1999). Industrial scale production of meat from in vitro cell cultures. In Vitro Cellular & Developmental Biology – Plant.

Waluyo, dkk., 2023. Pendampingan Sertifikasi Halal dan HKI Pada UMKM Pondok Pesantren Al Muayyad, Jurnal Pengabdian Masyarakat, Vol. 3, No. 2.

Warto dan Samsuri, 2020. Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia, Journal of Islamic Economics and Banking, Vo. 2. No. 1.

World Health Organization, 2009, Principles and Methods for the Risk Assessment of Chemicals in Food, World Health Organization.

Yusuf alQarādāwī, 1980. AlHalāl wa alH̱arām fī alIslām, Jurnal alSharīʿah wa alaqīqah, Vol.5, No.2.


[1] Agus Rahmadi, Kitab Pedoman Pengobatan Nabi: Konsep Sehat Berdasarkan Hadits Dan Medits (WahyuQolbu, 2019), hal. 278.

[2] Moch Rizky Prasetya Kurniadi, “4 Arti Daging di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),” KBBI, last modified August 10, 2022, accessed August 10, 2022, https:// kbbi.lektur.id/daging.

[3] Leonard Bloomfield, Bahasa (Language) (Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 412.

[4] Mark J. Post, “Cultured Meat from Stem Cells: Challenges and Prospects,” Meat science 92, no. 3 (2012): hal. 299.

[5] OECD and Food and Agriculture Organization of the United Nations, OECD-FAO Agricultural Outlook 2014 (OECD Publishing, 2014), hal.177.

[6] World Health Organization, Principles and Methods for the Risk Assessment of Chemicals in Food (World Health Organization, 2009), hal. 53.

[7] Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Lengkap Bulughul Maram (Akbar Media, 2007), hal. 5.

[8] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, vol. I (Mesir: Musthofa Muhammad, 1983), hal. 299.

[9] Samsuddin Muhmamad bin Muhammad Khotibi As-Syarbini, Al-Iqna Fi Halli Alfadi Abi Syuja (Beirut, Libanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), hal. 103.

                [10] Mohammad Naqib Hamdan, Mohd Anuar Ramli, and Azman Ab Rahman, “Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging: Analisis Menurut Perspektif Hukum Islam: The Use of Stem Cells in Cultured Meat: Analysis According to Islamic Law Perspective,” Journal of Fatwa Management and Research (2019): 17.

                [11] “Munas Alim Ulama NU 2021 Putuskan Daging Berbasis Sel Haram Dikonsumsi,” nu.or.id, accessed September 9, 2022, https://www.nu.or.id/nasional/munas-alimulama-nu-2021-putuskan-daging-berbasis-sel-haram-dikonsumsi-WYiSS.

                [12] Hamdan, Ramli, and Ab Rahman, “Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging.”

                [13] Van Eelen, W. M. (1999). Industrial scale production of meat from in vitro cell cultures. In Vitro Cellular & Developmental Biology – Plant, 35(2), h 89-91.

                [14] Post, M. J. (2020). Cultured meat from stem cells: Challenges and prospects. Frontiers in Sustainable Food Systems, 4, 61.

                [15] Hudzaifah Achmad Qotadah, dkk. Cultured Meat for Indonesian Muslim Communities: A Review of Maslahah and Prospect. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 7, No. 2, November 2022, hal. 332

                [16] Mohammad Naqib Hamdani, Mohd Anuar Ramliii & Azman Ab Rahman. Penggunaan Sel Stem Dalam Pengkulturan Daging: Analisis Menurut Perspektif Hukum Islam. JFatwa: Journal of Fatwa Management and Research, Vol. 18, No. 1, Oktober 2019, hal. 12

                [17] Mohammad Naqib Hamdan, Mohd Anuar Ramli. Cultured Meat in Islamic Perspective: An Analysis to the Use of ESCs as Source of Stem Cell. Global Journal Al-Thaqafah, Vol. 6, No. 2, Desember 2016, hal. 129–141

                [18] Ussy Siti Qudsiyah & Amany Awfa Tsania, Halal Perspective Review of Cultured Meat Stem Cell Method, Journal of AgriFood Science and Technology, Vol.5, No.2, Juni 2024, hlm.102–119

                [19] Ibid

                [20] Al-Zarkasyi, Ahmad, Prinsip Kaidah “Al-wasā’il lahā akām al-maqāṣid” dalam Ushul Fiqh, Jurnal Usul Fiqh dan Maqāṣid, Vol.10, No.2, Juli2004, hlm.120.

                [21] LPPOM MUI, Pedoman Sertifikasi Halal Produk Pangan, Jurnal Pedoman Halal LPPOM MUI, Vol.1, No.1, Januari 2020, hlm.10.

                [22] Ussy Siti Qudsiyah, Amany Awfa Tsania. Halal Perspective Review of Cultured Meat Stem Cell Method. Journal of Agri-Food Science and Technology (JAFoST), Vol 5 No. 2, 2024, hal. 115.

                [23] Yusuf alQarādāwī, AlHalāl wa alH̱arām fī alIslām, Jurnal alSharīʿah wa alaqīqah, Vol.5, No.2, November 1980, hlm. 45.

                [24] Warto dan Samsuri, Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia, Journal of Islamic Economics and Banking, Vo. 2. No. 1, 2020, hal. 101

                [25] Eka Rahayuningsih dan M. Lathoif Ghozali, Sertifikasi Produk Halal dalam Perspektif Mashlahah Mursalah, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 7, No. 1, 2021, hal. 136

            [26] Waluyo, dkk., Pendampingan Sertifikasi Halal dan HKI Pada UMKM Pondok Pesantren Al Muayyad, Jurnal Pengabdian Masyarakat, Vol. 3, No. 2, 2023, hal.151

                [27] Nina Nurani, dkk., “Penyuluhan Sertifikasi Halal Bagi UMKM Jawa Barat Pada Situasi Pandemi Covid-19,” Jurnal Madaniya, Vol. 1, No. 3, 2020, hal. 128

                [28] Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

                [29] Maisyarah Rahmi, Maqasid Syariah Sertifikasi Halal, (Palembang: Bening media Publishing, 2021), hal. 66

                [30] Arbanur Rasyid, Sertifikasi Halal Fatwa MUI dan Kaitannya Dengan Kesadaran Hukum di Masyarakat, (Sukabumi: Haura Utama, 2020), hal. 165-166

                [31] Dara Istia Aisyah, dkk., Analisis Pemahaman Sertifikasi Halal Pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (Studi Kasus di Kampung Ceungceum Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya), Jurnal Ilmu Ekonomi Islam, Vol. 7, No. 2, 2023, hal. 118-119

Komentar